Kamis, 25 Desember 2008

SLOW LEARNER

Oleh Iim Imandala, S.Pd.

Iim_imandala75@yahoo.co.id

www.iimimandala.blogspot.com

Siapakan slow learner itu?

Slow learner atau anak lambat belajar adalah mereka yang memiliki prestai belajar rendah (di bawah rata-rata anak pada umumnya) pada salah satu atau seluruh area akademik, tapi mereka ini bukan tergolong anak terbelakang mental. Skor tes IQ mereka menunjukkan skor anatara 70 dan 90 (Cooter & Cooter Jr., 2004; Wiley, 2007). Dengan kondisi seperti demikian, kemampuan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan teman sebayanya.

Bagaimanakan kemampuan mereka?

Tidak hanya kemampuan akademiknya yang terbatas tapi juga pada kemampuan-kemampuan lain, dianataranya kemampuan koordinasi (kesulitan menggunakan alat tulis, olahraga, atau mengenakan pakaian). Dari sisi perilaku, mereka cenderung pendiam dan pemalu, dan mereka kesulitan untuk berteman. Anak-anak lambat belajar ini juga cenderung kurang percaya diri. Kemampuan berpikir abstraknya lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya. Mereka memiliki rentang perhatian yang pendek.

Anak dengan SL memiliki cirri fisik normal. Tapi saat di sekolah mereka sulit menangkap materi, responnya lambat, dan kosa kata juga kurang, sehingga saat diajak berbicara kurang jelas maksudnya atau sulit nyambung.

Apa yang dapat kita lakukan?

  1. Isi materi diulang-ulang lebih banyak dibandingkan dengan teman sebayanya.
  2. Sediakan waktu khusus untuk membimbingnya secara individual.
  3. Waktu materi pelajaran jangan terlalu panjang dan tugas-tugas atau pekerjaan rumah lebih sedikit dibandingkan dengan teman-temannya.
  4. Lebih baik menanamkan pemahaman suatu konsep daripada harus mengingat suatu konsep.
  5. Gunakan peragaan dan petunjuk visual.
  6. Konsep-konsep atau pengertian-pengertian disajikan secara sederhana.
  7. Jangan mndorong mereka untuk berkompetisi dengan anak-anak yang memiliki kemampuan yag lebih tinggi.
  8. Pemberian tugas-tugas harus terstruktur dan kongkrit.
  9. Gunakan berbagai pendekatan dan motivasi belajar.
  10. Berikan kesempatan kepada anak untuk bereksperimen dan praktek langsung tentang berbagai konsep dengan menggunakan bahan-bahan kongkrit atau dalam situasi simulasi.
  11. Untuk mengantarkan pengajaran materi baru maka kaitkan materi tersebut dengan materi yang telah dipahaminya.
  12. Instruksi yang sederhana memudahkan anak untuk memahami dan mengikuti instruksi tersebut. Pada saat memberikan arahan harus berhadapan.
  13. Berikan dorongan kepada orangtua untuk terlibat dalam pendidikan anaknya di sekolah. Membimbing mengerjakan PR, menghadiri pertemuan-pertemuan di sekolah, berkomunkasi dengan guru, dll.

Senin, 22 Desember 2008

PENANGANAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR

Oleh Iim Imandala, S.Pd.


  1. Definisi Anak Berkesulitan Belajar

Anak berkesulitan belajar (learning diabilities), yaitu anak yang memiliki kesulitan belajar dalam proses psikologis dasar, sehingga menunjukkan hambatan dalam belajar berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berhitung, sedangkan mereka ini memiliki potensi kecerdasan yang baik tapi berprestasi rendah, yang bukan disebabkan oleh tunanetra, tunarungu, terbelakang mental, gangguan emosional, gangguan ekonomi, sosial atau budaya (Public Law 94-142, 1997; Delphie, B., 2006:27)


  1. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar Definisi

Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok (Abdurahman, 2003:11), yaitu:

(a) kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan (b) kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities). Kesulitan belajar yang berhubungan dengan pekembangan mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. Kesulitan belajar akademik menunjuk pada adanya kegagalan-kegaglan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis, dan/atau matematika.


Dalam kesempatan ini kita akan membahas “Bagaimana Meangani anak berkesulitan belajar akademik?”. Berkesulitan belajar akademi sering disebut pula sebagai specific learning disabilities.



ANAK BERKESULITAN BELAJAR MEMBACA

(DISLEKSIA)



Definisi Anak Bekesulitan Belajar Membaca

Disleksia menunjuk kepada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran, dan intelegensinya normal (bahkan ada yang intelegensinya di atas rata-rata) serta keterampilan bahasanya sesuai. Disleksia ini akibat faktor neurologis

dan tidak dapat diatributkan pada faktor kedua misalnya lingkungan atau sebab-sebab sosial.


Karakteristik

    1. Membaca lamban, turun naik intonasinya, dan membaca kata demi kata,

    2. Sering membalik huruf dan kata-kata,

    3. Pengubahan huruf pada kata,

    4. Kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya misalnya: bau, buah, batu, buta,

    5. Sering menebak dan mengulang kata-kata dan frase.


Asesmen

Menandai letak kesulitan

Beberapa Kemungkinan Letak Kesulitan :

    • Kesulitan membaca atau memahami suatu kata

    • Huruf terbalik/tertukar

    • Penghilangan kata/suku kata

    • Menebak kata

    • Menambahkan kata

    • Pengulangan pembacaan

    • Lambat

    • Sulit menangkap isi bacaan


Catat hasil asesmen ke dalam format

Contoh Format Hasil Assessment

Nama:

Kelas:

Usia:

Tanggal:

No

Pola/Bentuk Kesalahan

Keterangan

1


2

3

4

5

6

7

8

Kesulitan membaca atau memahami suatu kata

Huruf terbalik/tertukar

Penghilangan kata/suku kata

Menebak kata

Menambahkan kata

Pengulangan pembacaan

Lambat

Sulit menangkap isi bacaan












  1. Aktifitas Penanganan

    1. Aktifitas pra membaca

Pengembangan Bahasa dan Bicara

  1. Mendemonstrasikan apa yang anak ingin kerjakan

  2. Menceritakan pada anak apa yang sedang ia lakukan

  3. Mendorong anak bercakap cakap

  4. Memperlihatkan kepada anak gambar yang menarik sehingga anak mampu mendeskripsikan dan menginterpretasikannya.

  5. Membaca dan menceritakan cerita pendek kepada anak

  6. Meminta atau memberi dukungan kepada anak untuk bercerita di depan kelas tetang situasi yang menarik yang dialami di rumah atau di tempat lain

  7. Membuat permainan telepon-teleponan


Pengembangan Fungsi Visual (lihat lampiran)

    1. Diskriminasi visual

    2. Persepsi visual

    3. Asosiasi visual

    4. Visual Closure


Pengembangan Fungsi Auditif (lihat lampiran)

  1. Diskriminasi auditif

  2. Persepsi auditif

  3. Asosiasi auditif

  4. Auditif Closure


    1. Aktifitas membaca

Pendekatan/metode Multisensori (VAKT)

      1. Guru memberikan kartu huruf dan mengucapkannya, anak menirukan apa yang diucapkan guru.

      2. Setelah nama huruf dikuasai anak, guru mengucapkan bunyi huruf dan anak mengikutinya. Selanjutnya guru menanyakan kepada anak,"Apa nama bunyi huruf ini?" anak lalu menyebutkan bunyinya

      3. Guru mengucapkan bunyi huruf, bagian kartu yang bertuliskan huruf tidak diperlihatkan kepada anak (menghadap ke guru). Kemudian guru memperlihatkannya dan menanyakan kepada anak tentang nama huruf tersebut, kemudian anak menjawabnya.

      4. Guru menuliskan huruf yang dipelajari, menerangkan dan menjelaskannya. Anak memahami bunyi, bentuk, dan cara membuat huruf dengan cara menelusuri huruf yang dibuat guru, kemudian menyalin huruf berdasarkan memorinya. Akhirnya anak menulis sekali lagi dengan mata tertutup atau tidak mencontoh. Setelah dikuasai betul oleh anak, guru melanjutkan dengan huruf lain. Bila siswa sudah menguasai beberapa huruf, kemudian dapat dilanjutkan dengan merangkai kata dengan pola KVK (Konsonan Vokal Konsonan).


ANAK BERKESULITAN BELAJAR MENULIS (HANDWRITING)

(DISGRAFIA)


Definisi Anak Disgrafia

Disgrafia mengacu kepada anak yang mengalami hambatan dalam menulis meskipun ia tidak mengalami gangguan dalam motoriknya, visualnya, dan intelegensinya normal, bahkan ada yang di atas rata-rata.

Hambatan ini juga bukan diakibatkan oleh masalah-masalah ekonomi dan sosial.


Karakteristik

  • Lambat ketika menulis

  • Kesulitan menggunakan spasi antar huruf atau antar kata

  • Tulisan tidak terbaca oleh orang lain dan dirinya sendiri

  • Tulisan terlalu tipis atau terlalu menekan

  • Sering menulis suatu angka atau huruf mirip dengan yang lain. Misalnya, 3 dengan 5, k dengan h, t dengan r.


Penanganan

  1. Asesmen

mengamati hal berikut ini: posisi duduk, cara memegang alat tulis, posisi kertas/buku, konsistensi tangan yang digunakan untuk menulis, kondisi emosi, motivasi, perilaku menolak untuk menulis.

Pola-pola kesalahan dalam menulis

Formasi huruf, ukuran huruf, posisi huruf dengan garis batas, spasi, kualitas garis, kecepatan menulis.

Catat dalam format

Nama:

Kelas:

Usia:

Tanggal:


No

Pola/Bentuk Kesalahan


1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

posisi duduk,

cara memegang alat tulis,

posisi kertas/buku,

konsistensi tangan yang digunakan untuk menulis,

kondisi emosi,

motivasi,

perilaku menolak untuk menulis.

Formasi huruf,

ukuran huruf,

posisi huruf dengan garis batas,

spasi,

kualitas garis,

kecepatan menulis.

Tulisan tidak terbaca oleh orang lain dan dirinya sendiri










  1. Aktifitas Penanganan

FAKTOR KESIAPAN MENULIS

Menulis membutuhkan kemampuan kontrol muskular, koordinasi mata –tangan, dan diskriminasi visual.


  • Contoh aktivitas yang mendukung kontrol muskular: melatih otot gerak atas,menggunting, mewarnai gambar, finger painting dan tracing.


  • Kegiatan koordinasi mata – tangan seperti: membuat lingkaran dan menyalin bentuk-bentuk geometri.


  • Pengembangan diskriminasi visual dapat dilakukan dengan kegiatan membedakan bentuk, ukuran, dan detailnya sehingga anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.

AKTIVITAS LAIN YANG MENDUKUNG

    • Kegiatan yang memberikan kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas – bawah, dan jari.

    • Menelusuri bentuk geometri dan barisan titik.

    • Menyambungkan titik.

    • Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan.

    • Membuat garis vertikal dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.

    • Membuat bentuk-bentuk lingkaran dan kurva.

    • Membuat garis miring secara vertikal.

    • Menyalin bentuk-bentuk sederhana

    • Membedakan bentuk huruf yang mirip dan huruf yang bunyinya hampir sama.

HURUF LEPAS / CETAK (1)

      • Guru/ORTU memperlihatkan sebuah huruf yang akan ditulis

      • Guru/ORTU mengucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk membuat huruf itu.

      • Siswa/anak menelusuri huruf itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas arah garis untuk membuat huruf itu.

      • Siswa/anak menelusuri garis tersebut dengan pensilnya.

      • Siswa/anak menyalin contoh huruf itu di kertas/bukunya.

      • Jika cara ini sudah dikuasai siswa maka langsung dilanjutkan dengan menyambungkan titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu. Sampai akhirnya siswa mampu membuat huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap selanjutnya adalah menulis kata dan kalimat.

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS HURUF LEPAS


  • Menyalin huruf/angka dengan bantuan tanda panah sebagai petunjuk arah menulis

  • Menulis huruf di antara garis huruf model

  • Menulis huruf pada kertas berpetak

  • Menyambungkan titik/garis putus-putus yang berbentuk huruf

  • Puzzle huruf kapital dan huruf kecil

  • Menulis huruf di kertas garis tiga


HURUF TRANSISI

Maksud dari huruf transisi adalah huruf yang digunakan untuk melatih siswa sebelum menguasai huruf sambung. Adapun langkah-langkah pengajarannya sbb:


    1. Kata/huruf ditulis dalam bentuk lepas/cetak.

    2. Huruf yang satu dengan huruf yang lain disambungkan dengan titik-titik dengan menggunakan warna yang berbeda.

    3. Siswa menelusuri huruf dan sambungannya sehingga menjadi bentuk huruf sambung.


HURUF SAMBUNG

Untuk mengajarkan huruf sambung dapat menggunakan langkah-langkah huruf lepas dan huruf transisi.



















KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA

(DISKALKULIA)




Definisi

Kesulitan belajar matematikan disebut juga diskalkulia (dyscalculia) (Lerner, 1988:430). Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan system saraf pusat.


Karakteristik

Menurut Lerner (1981:357) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu:

        1. Gangguan hubungan keruangan

Kesulitan dalam memahami konsep atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir. Sehingga anak tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 dari pada ke angka 6.

        1. Abnormalitas persepsi visual

Anak mengalami kesulitan untuk melihat berbaai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Misalnya kesulitan menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu per satu anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya. Mereka juga sering kesulitan membedakan bentuk-bentuk geometri.

        1. Asosiasi visual-motor

Anak sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya.

        1. Perseverasi

Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relative lama. Contoh:

  1. + 3 = 7

  2. + 3 = 8

5 + 2 = 7

5 + 4 = 9

4 + 4 = 9

3 + 4 = 9

        1. Kesulitan mengenal dan memahami symbol


        1. Gangguan penghayatan tubuh

Anak kesulitan memahami hubungan bagian-bagian tubuhnya sendiri.

        1. Skor performance IQ jauh lebih rendah dibandingkan dengan skor verbal.

        2. Kekeliruan dalam proses perhitungan

          1. Kekurangan Pemahaman Tentang Simbol

Anak-anak belum memahami simbol-simbol dasar perhitungan seperti simbol jumlah (+), kurang (-), dan sama dengan (=).


    1. Nilai Tempat

Ketidak pahaman terhadap nilai tempat banyak diperlihatkan oleh anak seperti berikut ini:

75 68

27 - 13 +

58 71


Anak tidak memahami nilai tempat bilangan 7 pada bilangan 75, sehingga anak menghitung:

15 – 7 = 8 dan 7 – 2 = 5 (bilangan 7 harusnya berubah jadi 6), jadi hasilnya 58. jawaban yang benar seharusnya 48.

Pada soal 68 + 13, anak tidak menjumlahkan bilangan 1 puluhan sebagai hasil dari 8 + 3 = 11. Seharusnya 1 puluhan dijumlahkan dengan 6 + 1 (1+ 6 + 1 = 8). Sehingga jumlah yang benar adalah 81.

Anak yang mengalami kekeliruan semacam itu dapat juga karena lupa cara menghitung persoalan pengurangan atau penjumlahan bersusun ke bawah, sehingga kepada anak tidak cukup hanya diajak memahami nilai tempat tetapi juga diberi latihan yang cukup.


    1. Penggunaan Proses yang Keliru

Kekeliruan dalam penggunaan proses penghitungan dapat dilihat pada contoh berikut ini:

  1. Mempertukarkan simbol-simbol

6

2 x

8


Anak belum memahami simbol X (perkalian). Sehingga simbol X dianggap penjumlahan menjadi 6 + 2 = 8. Seharusnya 6 x 2 = 12.


15

3 –

18


Anak menganggap simbol pengurangan “–“ sebagai penjumlahan, sehingga 15 – 3 = 18, seharusnya 15 – 3 = 12.


  1. Jumlah satuan dan puluhan ditulis tanpa memperhatikan nilai tempat

83

67 +

1410


Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung 3 + 7 = 10 kemudian 8 + 6 = 14, hasilnya 1410. Jawaban yang benar seharusnya adalah 150.


66

29 +

815


Anak menghitung, 6 + 9 = 15, kemudian 6 + 2 = 8, hasilnya 815. jawaban yang benar seharusnya adalah 95.


  1. Semua digit diambahkan bersama (algoritma yang keliru dan tidak memperhatikan nilai tempat

67 58

13 + 12 +

17 16


Anak menghitung: 6 + 7 + 3 + 1 = 17

5 + 8 + 1 + 2 = 16



  1. Digit ditambahkan dari kiri ke kanan dan tidak memperhatikan nilai tempat


476

851 +

148


Anak menghitung: menjumlahkan dari kiri ke kanan (4 + 7 + 6 + 1) = 18 kemudian 1 ditambahkan berhenti sampai disitu. Lalu diteruskan 1 + 5 + 8 = 14, seharusnya 1358


37

753

693 +

1113

Anak menghitung: menjumlahkan (7 + 5 + 3 + 6) seharusnya 21, tapi anak menulis 11 dan 1 ditambahkan dengan 9 + 3 = (1 + 9 + 3) = 13, anak menulis 1113, seharusnya 83.


  1. Dalam menjumlahkan puluhan digabungkan dengan satuan

68

8 +

166


Anak menghitung: 8 + 8 = 16, kemudian anak menulis 6 simpan 10. Lalu 10 + 6 = 16. Anak menulis hasilnya 166. jawaban yang benar adalah 76.



73

9 +

172


Kekeliruan yang terjadi adalah anak menhitung: 3 + 9 = 12, kemudian anak menulis 2 simpan 10. Lalu 10 + 7 = 17. Anak menulis hasilnya 172. Jawaban yang benar adalah 82.


  1. Bilangan yang besar dikurangi bilangan yang kecil tanpa memperhatikan nilai tempat

627

486 -

261


Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung: 7 – 6 = 1, 8 – 2 = 6, 6 – 4 = 2. Sehingga anak menuliskan hasilnya 261. Jawaban yang benar adalah 141.


761

489 –

328


Kekeliruan yang terjadi adalah anak menghitung: 9 – 1 = 8, 8 – 6 = 2, 7 – 4 = 3. Sehingga anak menuliskan hasilnya 328. jawaban yang benar adalah 272.


  1. Bilangan yang telah dipinjam nilainya tetap

532

147 -

495


Kekeliruan yang terjadi adalah bilangan 3 dan 5 pada bilangan 532 tidak berubah/tetap padahal sudah dipinjam. Sehingga anak menuliskan hasilnya 495. Jawaban yang benar adalah 385


423

366 –

167

Anak merubah bilangan 2 dan 4 pada bilangan 423, padahal bilangan tersebut sudah dipinjam. Sehingga anak menuliskan hasilnya 167. Jawaban yang benar adalah 57.

    1. Jawaban Serampangan

Ada anak yang belum mengenal perkalian dengan baik tetapi menghapal perkalian tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan jika hapalannya salah, sehingga jawabannya serampangan. Kesalahan tersebut umumnya tampak sebagai berikut:

6 8

8 x 7 x

46 54

Contoh forma asesmen

Nama :

TTL :

Kelas :

Tgl. Asesmen :

No

Kemampuan

Keterangan

1

2

3

4

5

6

7

Gangguan hubungan keruangan

Abnormalitas persepsi visual

Asosiasi visual-motor

Perseverasi

Kesulitan mengenal dan memahami symbol

Gangguan penghayatan tubuh

Kekeliruan dalam proses perhitungan




Penanganan

      1. Menyiapkan anak belajar matematika

Pembelajaran pra berhitung meliputi klasifikasi, seriasi, korespondensi, dan konservasi (Piaget, 1965 dalam Mercer dan Mercer, 1989:188).

  1. Klasifikasi

Piaget (1965) yang dikutip oleh Mercer & Mercer (1989:188) mengatakan bahwa klasifikasi adalah satu dari banyak kegiatan-kegiatan intelektual dasar yang harus dikuasai sebelum belajar bilangan. Klasifikasi melibatkan hubungan persamaan, perbedaan, dan pengkategorisasian (categorizing) obyek menurut sifat-sifat khususnya. Copeland (1979; dalam Mercer & Mercer, 1989) mengatakan bahwa banyak anak-anak yang menguasai keterampil­an pengklasifikasian pada usia 5-7 tahun.

Klasifikasi dapat mencakup: (a) mengelompokan berdasarkan warna, yaitu mengelompokkan dua warna, mengelompokkan tiga warna dan mengelompokkan empat warna; (b) mengelompokan berdasarkan bentuk yaitu mengelompokkan bentuk lingkaran, bentuk segitiga, bentuk segiempat dan bentuk segipanjang; (c) mengelompokan berdasarkan ukuran, yaitu mengelompokan objek ukuran kecil, obyek yang sedang dan obyek yang besar.

  1. Ordering (Mengurutkan) dan Seriasi

Ordering (mengurutkan) adalah kemampuan mengurutkan obyek berdasarkan tipe atau pola tertentu sehingga ada pemetaan hubungan dari urutan. Misalnya, (a) anak mengurutkan pola X – O – X – O – X - .... (b) mengurutkan obyek berdasarkan pola warna, misalnya mengurutkan 3 pola warna dan mengurutkan 4 pola warna, (c) mengurutkan obyek berdasarkan pola bentuk, contohnya mengurutkan 3 pola bentuk dan mengurutkan pola 4 bentuk.

Sedangkan seriasi adalah menyusun obyek berdasarkan ukurannya mulai dari yang terpendek sampai yang paling panjang atau dari yang terkecil sampai yang terbesar (Homdijah, 2004:193).

Ordering dan seriasi menjadi aspek pra berhitung karena berkaitan dengan sifat bilangan dalam aritmatika/berhitung yang memiliki sifat keteraturan yang disusun secara terpola dan berurut. Buktinya, yaitu bilangan itu di susun mulai dari nilai yang terkecil sampai yang terbesar: 1 kemudian 2, setelah 2, 3 dan seterusnya (1, 2, 3, 4, dan seterusnya). Urutan bilangan itu pun berseri. Satu seri terdiri dari sepuluh bilangan dan disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar. Misalnya, 1 sampai 10, 11 sampai 20 dan seterusnya.

  1. Korespondensi

Korespondensi adalah keterampilan memahami jumlah satu set obyek pada suatu tempat adalah sama banyaknya dengan satu set obyek pada tempat yang lain tanpa menghiraukan karakteristik obyek tersebut (Mercer dan Mercer, 1989:189).

Contoh pada aspek ini misalnya; (a) anak menilai jumlah obyek yang sama tapi ukuran obyek itu berbeda (10 biji kancing kecil dalam satu gelas dengan 10 biji kancing besar dalam gelas yang lain); (b) menilai jumlah dua obyek yang berbeda (2 pencil dengan 2 pulpen ); (c) menghubungkan antara isi/nilai dengan lambang bilangan (gambar satu telur dihubungkan dengan lambang bilangan 1, gambar 5 buah apel dihubungkan dengan lambang bilangan 5.

Keterkaitan aspek korespondensi dengan keterampilan berhitung adalah menanamkan konsep pada anak bahwa adanya hubungan antara isi/nilai dengan lambang bilangan, sehingga anak mampu menghubungkan antara isi dan lambang bilangan. Meskipun lambang bilangan itu ditulis besar-besar tetapi isi/nilainya tetap. Lambang bilangan 1 artinya memiliki isi/nilai satu. Oleh karena itu dalam korespondensi ini pun anak dilibatkan dalam aktifitas menghubungkan antara lambang bilangan dengan isi/nilainya.


  1. Konservasi

Konservasi adalah banyaknya obyek dalam satu tempat atau satu kelompok akan tetap konstan meskipun letaknya berubah (Mercer dan Mercer, 1989:189).

Konservasi mencakup; (a) konservasi jumlah yaitu konservasi jumlah dalam 5 obyek, konservasi jumlah dalam obyek dan konservasi jumlah dalam 9 obyek; (b) konservasi berat, yaitu konservasi berat (bulat dan pipih) dan konservasi berat (opal dan spiral); (c) konservasi isi, yaitu konservasi isi tentang air (posisi vertical) dan konservasi isi tentang air pada dua tempat yang berbeda; (d) konservasi luas yaitu obyek sama, posisi berbeda dan obyek sama, bentuk berbeda.


      1. Maju dari kongkrit ke Abstrak

Pengajaran pada tahap kongkrit adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan mengaktifkan alat sensoris dengan cara memanipulasi obyek. Pada tahap belajar seperti ini mutlak harus menggunakan media pembelajaran (alat peraga). Sebagai contoh, dalam menjelaskan konsep bilangan. Proses belajar dimulai dari memanipulasi obyek seperti balok-balok, kelereng, gelas, cangkir dan sebagainya. Anak diperkenalkan dengan benda-benda itu, lalu didemonstrasikan, misalnya, jumlah obyek yang banyak dengan yang sedikit, balok yan jumlahnya satu dengan balok yang jumlahnya dua dan seterusnya. Kegiatan pada tahap ini belum diperkenalkan dengan simbol-simbol angka.

Pengajaran pada tahap semi kongkrit adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan media gambar dari benda kongkrit. Misalnya gambar apel, telur, gelas, kelereng, dan sebagainya.

Semi abstrak adalah proses pengajaran yang dilakukan dengan media gambar yang obyek tidak mewakili benda kongkrit, misalnya jumlah lingkaran yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lingkaran yang lebih sedikit. Menghitung jumlah gambar segitiga, sgi empat, lingkaran, dan lain-lain.

Tahap abstrak adalah pengajaran yang langsung menggunakan simbol-simbol angka (lambang bilangan) seperti angka 1, 2, 3, dan seterusnya.


      1. Menyediakan kesempatan untuk berlatih dan mengulang


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates