Selasa, 10 November 2009

Daftar Sekolah Khusus, Inklusif dan Klinik untuk Anak Berkebutuhan Khusus


Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai Daftar Sekolah Khusus, Inklusif dan Klinik untuk Anak Berkebutuhan Khusus, maka kami berusaha mencari data tersebut. Berikut hasil scan data yang kami peroleh dalam bntuk file PDF. Silahkan Klik pada link di bawah atau klik kanan kemudian pilih Save link as… untuk medownload daftar tersebut.

Semoga dapat membantu


DAFTAR SEKOLAH KHUSUS DAN KLINIK

DAFTAR SEKOLAH UJI COBA INKLUSIF 2005




Kamis, 20 Agustus 2009

AREA KESULITAN YANG DIMILIKI OLEH AUTISTIC SPECTRUM DISORDER


Oleh Iim Imandala, S.Pd.*


Saat ini banyak ditemukan kasus autisitic spectrum disorder (ASD), sebagian dari kasus tersebut akan dijumpai di sekolah-sekolah regular yang menerima anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang tergolong pada ASD ini sering pula disebut sebagai pervasive development disorder (gangguan tumbuh kembang yang menyeluruh dan melekat). Mereka menunjujkkan berbagai hambatan tumbuh kembang yang melekat dalam kehidupannya. Banyak sekali area kemampuan yang mengalami hambatan dalam diri anak ASD. Hambatan yang mereka miliki itu menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik dan tenaga professional lainnya manakala mereka mulai bersekolah.

Kami telah mengidentifikasi hambatan atau kesulitan yang dihadapi oleh beberapa kasus ASD yang ada di sekolah kami ketika mengikuti proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Hasil identifikasi menunjukkan sedikitnya ada enam area yang menjadi kesulitan bagi anak-anak ASD pada umumnya, yaitu: masalah perilaku, kemampuan belajar dan berpikir, percakapan, sensori dan pengalaman gerak, bahasa dan komunikasi, dan keterampilan social. Memang, dari keenam area tersebut tidak ada yang dimiliki secara utuh oleh anak-anak ASD. Kesulitan-kesulitan yang dimiliki tersebut dipengaruhi pula pengalaman belajar dan kondisi-kondisi lain, seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dyspraxia dan mungkin pula dyslexia.

Secara lengkap hasil identifikasi kesulitan yang dimiliki oleh anak ASD dapat dilihat pada tabel berikut

No Area Kesulitan Sub Area Kesulitan
1. Perilaku
  1. Di kelas:

- perilaku aneh

- lepas control

- kesulitan merubah rutinitas

- kesulitan organisasi tugas-tugas

- meniru dalam kelompok

- menjaga jarak dengan teman

- perilaku mengganggu

- keusulitan mengikuti kegiatan carpet time

- mudah terganggu

- ingin menguasai

- cemas

- mudah marah

  1. Di sekolah

- kesulitan menghadapi masa transisi

- peraturan sekolah

- berkelompok

- pentas komptensi

- waktu bermain

- jadwal makan siang

2 Keterampilan sosial
  1. Memahami teman

- Kesulitan memahami konsep teman yang mengalami musibah (kecelakaan, terjatuh, sakit, dll).

- Ejekan/hinaan dan kata-kata mengancam

- Konsep bercanda

- Menyindir

- Berbohong

  1. Interaksi social

- Memahami emosi

- Berteman

- Menjaga pertemanan/persahabatan

- Berbagi dengan teman

- Emphatic

- Bermain interaktif

- Menunggu giliran

- Berbagi mainan

- Negosiasi

  1. Konteks Sosial

- Simbol-simbol social

- Perilaku yang tepat

- Hubungan di sekolah dan rumah

3. Bahasa dan Komunikasi
  1. Penggunaan bahasa

- minat yang terbatas untuk berkomunikasi

- Bahasa yang stereotipik (diulang-ulang)

- Pertanyaan yang terus berkelanjutan

- Echolalia (membeo)

- Bahasa yang aneh

  1. Pemahaman

- Prediksi

- Intepretasi

- Mengikuti instruksi

- Makna bahasa

4 Ketrampilan bercakap-cakap
  1. Verbal

- Waktu yang tepat untuk berdialog

- Giliran berbicara

- Pengetahuan sebagai pendengar

- Mengelola topic pembicaraan

- Minat untuk bercakap-cakap

- Mengembangkan pembicaraan

- Interupsi

- Membaca pikiran

  1. Non verbal

- Simbol-simbol percakapan

- Gesture

- Bahasa tubuh

- Intonasi

- Kontak mata

5 Sensori dan motor (gerak)
  1. Kurang sensitive
  2. Oversensitive

- Cahaya

- Suara

- Bau, rasa, sentuhan

  1. Kontrol motor

- Motorik halus

- Motorik kasar

6 Berpikir dan belajar
  1. Berpikir

- kekakuan berpikir

- Membedakan hayalan dan kenyataan

- Kemampuan bermain peran

- Kemampuan imajinasi

  1. Belajar

- Mengamati gambar-gambar besar

- Fokus pada arah tunggal

- Membuat hubungan

- Mengintegrasikan pengetahuan

- Pekerjaan rumah

- Memonitor diri sendiri

- Kemandirian

  1. Perhatian

- Menyimak

- Bertahan/komitmen mengerjakan tugas

- Memulai tugas

Mudah-mudahan hasil identifikasi ini dapat bermanfaat dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak ASD.

Senin, 15 Juni 2009

Drumband yang Luar Biasa


Nonton drumband anak-anak memang sudah biasa, tapi jadi luar biasa kalau drumband itu dimainkan oleh anak-anak tunarungu dan anak-anak tunagrahita. seperti dalam video di bawah ini.

Drumband ini ditampilkan pada saat acara pembukaan lomba kreatifitas anak berkebutuhan khusus tingkat provinsi Jawa Barat, diselenggarakan oleh dinas pendidikan Provinsi Jabar tanggal 25 Mei 2009



Rabu, 10 Juni 2009

LOMBA KREATIFITAS SISWA (LKS) DAN EVALUASI PEMBELAJARAN

Oleh Iim Imandala, S.Pd.

Students


Senang rasanya bila memiliki murid yang pandai dan bisa memenangkan perlombaan. Mungkin perasaan itu dirasakan pula oleh para guru dan pembimbing yang kemarin muridnya memperoleh juara dalam kegiatan LKS tingkat Propinsi Jawa Barat tahun 2009.

Ya, diajang LKS itu murid-murid diuji kompetensinya dalam berbagai perlombaan bidang akademik, kesenian, dan olah raga. Dengan segenap kemampuannya mereka ingin menunjukkan diri yang terbaik dan layak sebagai pemenang. Para guru dan pembimbing pun tak kalah semangat memotivasi dan memberikan arahan kepada muridnya untuk tampil percaya diri. Diakhir perlombaan tentunya ada yang menang ada yang kalah, ada yang memperoleh hadiah ada yang tidak.

Di akhir LKS menghasilkan sederet nama yang menjadi juara dan memperoleh hadiah. Apakah itu tujuan akhir LKS? Sejatinya ada hal yang sangat mendasar dari tujuan penyelenggaraan LKS, yaitu mengukur hasil pembelajaran dan pembinaan yang telah dilakukan di sekolah terhadap peserta didik selama satu tahun. Bila kita sadari bahwa seorang murid yang berprestasi dan menjadi juara sesungguhnya telah melewati proses yang cukup panjang sehingga memiliki kompetensi yang cukup untuk berprestasi dan menjadi pemenang. Maka tidaklah mengherankan jika sekolah yang telah mempersiapkan muridnya jauh-jauh hari menjadi juara.

Kegiatan LKS ini harus menjadi salah satu alat ukur keberhasilan pembelajaran bagi setiap guru atau sekolah, tidak sebatas berpartisipasi dalam kegiatan. Pada saat diumumkan siapa yang menjadi pemenang atau siapa yang menjadi juara umum itu harus menggambarkan tingkat keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Bagi yang belum juara dapat mengevaluasi diri dan belajar kepada pemenang, bagaimana proses pembelajaran dan pembinaan yang mereka lakukan sehingga menjadi pemenang. Bagi pemenang, tentunya harus menjaga dan meningkatkan terus kualitas layanan pendidikan yang telah dilakukannya.

Menarik apa yang dikatakan oleh Kepala Bidang PLB Dinas Pendidikan Jabar dalam sambutan technical meeting juri/wasit LKS, beliau menyatakan bahwa LKS sebagai salah satu bentuk akuntabilitas kita kepada masyarakat sebagai pengguna/konsumen layanan pendidikan karena kita telah menggunakan dan mengelola dana masyarakat. Oleh karena itu melalui LKS harus menjadi salah ajang pertanggungjawaban kita kepada masyarakat dalam hal kualitas layanan pendidikan yang tlah dilakukan.

Jadi LKS tidak sekedar sebagai event adu gengsi dan memperoleh hadiah, tapi harus menjadi salah satu alat evaluasi keberhasilan pembelajaran dan pembinaan yang telah dilakukan di sekolah. Mari kita bersama-sama meningkatkan terus penyelenggaraan LKS sehingga LKS menjadi ajang untuk mengevaluasi dan LKS Prop Jabar menjadi format yang berkesinambungan dengan proses evaluasi pembelajaran yang dilakukan di sekolah.



Jumat, 29 Mei 2009

Kegiatan di SLB ROJA Soreang, Kabupaten Bandung

Berikut adalah rekaman video salah satu kegiatan di SLB ROJA Soerang, Kabupaten Bandung. Video upload di Youtube



Senin, 25 Mei 2009

UASBN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Oleh Iim Imandala, S.Pd.*


Dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Jawa Barat sejak tahun 2003 maka anak berkebutuhan khusus dapat memperoleh hak pendidikan di sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Apabila sekolah yang terdekat itu adalah sekolah reguler sedangkan ke SLB cukup jauh, maka sekolah reguler harus menerima anak berkebutuhan khusus itu untuk memperoleh hak pendidikan formalnya.

Hingga saat ini sudah banyak sekolah reguler (SD/SMP/SMA) yang telah menerima anak berkebutuhan khusus. Dibeberapa wilayah, khususnya di wilayah Kabupaten Bandung, menurut Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Inklusif Kab. Bandung tercatat hampir 90% Sekolah Dasar Negeri (SDN) telah menerima anak berkebutuhan khusus. Data ini belum termasuk data dari wilayah lain di lingkup Provinsi Jawa Barat, tentunya akan diperoleh akumulasi data yang cukup banyak mengenai sekolah reguler yang telah menerima anak berkebutuhan khusus.

Sebagian data tersebut dapat mencerminkan keberhasilan pendidikan inklusif di Jawa Barat. Namun demikian keberhasilan tersebut menyisakan permasalahan di antaranya adalah ketika anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah reguler harus mengikuti UASBN. Bagi anak berkebutuhan khusus yang high functioning atau tidak mengalami hambatan mental/kecerdasan seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunalaras dapat mengikuti UASBN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya bagi anak berkebutuhan khusus yang low functioning atau yang mengalami hambatan mental/kecerdasan dan mereka sudah terdaftar sebagai peserta UASBN. Bagi mereka ini tentunya akan menjadi persoalan ketika harus mengikuti UASBN dengan soal yang sama seperti anak-anak lain pada umumnya, sedangkan kemampuan mereka tidak memadai untuk itu. Kondisi ini merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya oleh kita bersama.

Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi untuk mengatasi UASBN bagi anak berkbutuhan khusus low functioning, pertama, sekolah reguler yang menerima anak berkebutuhan khusus harus memberikan keterangan peserta UASBN yang tergelong pada anak berkebutuhan khusus. Keterangan ini berguna untuk menentukan soal mana yang akan digunakan. Kedua, sekolah bersama dinas pendidikan kabupaten/kota madya bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat melalui Bidang Pendidikan Luar Biasa (PLB) untuk melakukan identifikasi dan asesmen. Identifikasi dan asesmen ini penting dilakukan agar diperoleh data yang akurat mengenai kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus sehingga dapat menjadi dasar dalam pembuatan soal. Setelah data diperoleh melalui identifikasi dan asesmen kemudian soal dibuat oleh guru/sekolah masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Selanjutnya pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat melalui Bidang (PLB) melakukan validasi terhadap soal yang telah dibuat oleh guru/sekolah itu. Ketiga, soal yang telah divalidasi itu dapat digunakan dalam UASBN bagi anak berkebutuhan khusus. Soal yang dikerjakan oleh anak berkebutuhan khusus tersebut akan berbeda dengan anak pada umumnya, bahkan bisa berbeda pula antar sesama anak berkebutuhan khusus.

Dalam hasil peniliain hasil UASBN bagi anak berkebutuhan khusus, nilai yang diperoleh harus disajikan dalam dua bentuk, yaitu bentuk angka dan bentuk deskriptif. Dua bentuk sajian ini diperlukan agar diperoleh kejelasan dan pertanggungjawaban mengenai nilai-nilai yang diperoleh anak berkebutuhan khusus. Misalnya, nilai matematika 7 bagi anak berkebutuhan khusus berbeda dengan nilai matematika 7 yang diperoleh anak pada umumnya karena dari bentuk dan bobot soal nya berbeda. Bagi anak berkebutuhan khusus memperoleh nilai 7 harus ada penjelasan mengapa nilainya 7. Dalam penjelasannya, kurang lebih berisi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator-indikator yang telah dicapainya sehingga dapat diwakili dengan nilai 7.

Begitu pula di dalam ijazah/STTB bagi anak berkebutuhan khusus. Ijazah/STTB nya terdiri dari dua lembar, lembar pertama ijazah yang di dalamnya tercantum nilai berbentuk angka-angka dan lembar kedua berbentuk deskriptif. Bentuk deskriptif ini tentunya butuh legalitas, oleh karena itu perlua adanya kerjasama dengan Bidang PLB untuk legalitas tersebut karena bidang inilah yang mengurusi masalah pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Provinsi Jawa Barat.

Tulisan ini semoga dapat memberikan gambaran solusi permasalahan UASBN bagi anak berkebutuhan khusus. Terima kasih atas perhatiannya.

*Penulis adalah guru SLB Roudhotul Jannah Kec. Soreang Kab. Bandung.


Jumat, 27 Februari 2009

REMEDIAL MEMBACA DENGAN METODE FERNALD BAGI ANAK DISLEKSIA

Oleh Iim Imandala, S.Pd.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Begitu pula dengan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (UU No. 20 Tahun 2003 dalam Sub Dinas PLB Jabar, 2007). Warga negara yang berkelainan tersebut dan masih berusia anak–anak disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak disleksia sebagai bagian dari anak berkebutuhan khusus, tentunya mereka juga berhak memperoleh pendidikan khusus agar dapat berkembang sesuai dengan potensinya.

Dalam proses pendidikan formal, anak disleksia (sebutan umum bagi anak berkesulitan belajar membaca secara khusus) ini banyak ditemui di sekolah reguler (SD), terutama di kelas I, 2 dan 3. Meskipun demikian jumlah pasti anak disleksia di Indonesia khususnya di Jawa Barat belum dapat dipastikan (Sunardi dan Sugiarmin, M., 2001). Prevalensi tentang jumlah siswa yang mengalami kesulitan belajar pada setiap kelas belum bisa diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan 2-10% (Somad, P., 2002:40). Anak berkesulitan belajar keberadaanya sering dianggap sebagai siswa yang berprestasi rendah (underachivers) umumnya kita temui di sekolah reguler (Delphie, B, 2006 :24). Anak disleksia banyak ditemui di sekolah reguler karena kelainan yang mereka miliki tidak kasat mata sehingga mereka bisa diterima di sekolah reguler. Akibatnya keberadaan mereka sering tidak disadari oleh lingkungannya, terutama oleh guru.

Sebagian guru beranggapan, bahwa anak disleksia ini sebagai anak yang bodoh, berprestasi rendah, pemalas, kurang konsentrasi, atau anak nakal. Anggapan itu muncul karena guru tidak paham tentang anak ini, sehingga upaya yang dilakukan oleh guru pun kurang optimal atau tidak sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan anak. Seharusnya sebagai guru yang “mumpuni” adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan belajar mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan memperhatikan kemampuan dan kelemahan setiap individu siswa ( Delphie, B., 2006 :1). Anggapan guru atau tindakan guru yang kurang tepat dapat menambah parah kesulitan belajar membaca yang dialami oleh anak disleksia.

Seharusnya guru memahami dengan benar bahwa mereka memiliki prestasi yang rendah karena kesulitan membaca yang mereka alami sehingga membawa dampak pada penguasaan bidang studi lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lerner (1984 dalam Abdurrahman, M., 2003) bahwa kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi yang dipelajari di sekolah. Jika siswa mengalami kesulitan membaca maka ia akan berkesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya. Adanya kesulitan membaca akan mengakibatkan ketidakmampuan menangkap pesan-pesan tulisan, padahal hampir semua mata pelajaran pesannya disampaikan melalui (huruf, angka-angka, dan simbol-simbol lain) (Somad, P., 2002). Jadi yang paling awal harus dilakukan adalah mengatasi kesulitan membacanya dahulu.

Selain masalah pemahaman guru yang masih kurang tentang anak disleksia ini, masalah lain adalah masih dirasakan beban tugas guru yang cukup berat. Guru harus mengajar dengan rasio 1:40 (Somad, P., 2002) dan guru juga dituntut peran ganda, disamping mengajar juga sebagai pembimbing (Dikdasmen, 1990/1991 dalam Somad, P., 2002), sehingga dengan kondisi-kondisi tersebut anak berkesulitan membaca belum tertangani secara optimal.

Kesulitan belajar membaca memerlukan perhatian yang serius, sehingga anak yang mengalami kesulitan belajar membaca dapat memahami mata pelajaran lainnya secara lancar. Penanganan kesulitan belajar membaca ini, terutama, harus dilakukan sejak tahap membaca permulaan. Pada tahap tersebut, belajar membaca menjadi sangat penting karena merupakan fondasi untuk belajar membaca pada tahap lebih lanjut. Apabila pada tahap ini anak mengalami kesulitan maka akan berpengaruh pada pelajaran membaca selanjutnya. Seperti yang terjadi pada anak disleksia, mereka sangat banyak memiliki hambatan pada tahap membaca permulaan sehingga tidaklah mengherankan jika ia mendapatkan kesulitan memahami isi bacaan dan menemui kesulitan mengikuti tahap membaca lanjut, hal ini, berdampak pada prestasi belajar.

Anak disleksia sebagai bahan makalah yang dimaksudkan adalah siswa-siswa Sekolah Dasar (SD) yang dalam membacanya sulit membedakan huruf vocal (a, i, u, e, o), terbalik huruf “tedi“ dibacanya “tebi“, menghilangkan kata atau huruf “ibu membeli roti“ dibacanya “ibu beli roti“, sulit membedakan konsonan yang bentuknya mirip “nenas“ dibacanya “memas“, “roti“ dibacanya “rori“ atau “toti“, kondisi itu disebabkan bukan oleh keterbelakangan mental, gangguan emosional, tunarungu, tunanetra, bukan karena hambatan lingkungan, budaya, atau ekonomi.

Oleh karena itu perlu adanya pemikiran tentang penanganan kesulitan membaca permulaan pada anak disleksia ini. Melalui makalah ini munculah pemikiran untuk menangani kesulitan membaca tersebut dengan pengajaran remedial membaca permulaan bagi anak disleksia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :

“Bagaimana Pengajaran Remedial Membaca Permulaan Anak Disleksia ?“

Untuk menjawab masalah tersebut, maka diajukan pertanyaan berikut:

a. Bagaimana konsep dasar anak disleksia ?

b. Bagaimana konsep dasar membaca permulaan?

c. Bagaimana bentuk-bentuk kesulitan membaca permulaan anak disleksia ?

d. Bagaimana remedial membaca permulaan anak disleksia ?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai pengajaran membaca permulaan bagi anak disleksia.

2. Manfaat

a. Diharapkan dapat menjawab persoalan pengajaran membaca permulaan bagi anak disleksia

b. Diharapkan hasil pemikiran ini dapat menjadi bahan informasi berkaitan dengan pengajaran remedial membaca permulaan di sekolah, baik di sekolah regular (SD) maupun sekolah luar biasa (SLB).

D. Sistimatika Penulisan Makalah

Untuk mendapatkan gambaran bahasan yang terarah maka sistimatika isi keseluruhan makalah ini terdiri dari :

a. Bab I. Membahas (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat.

  1. Bab II. Kajian teori, mencakup (1) konsep dasar anak disleksia dan membaca permulaan, (2) penerapan remedial terhadap kesulitan membaca anak disleksia.
  2. Bab III. Kesimpulan dan Saran.

E. Ruang Lingkup dan Prosedur Pemecahan Masalah

1. Ruang Lingkup

a. Konsep dasar anak disleksia

b. Kemampuan membaca anak disleksia

c. Konsep dasar membaca permulaan

d. Penerapan remedial membaca

2. Prosedur Pemecahan Masalah

Dalam membahas dan pemecahan masalah dalam makalah ini dengan cara sebagai berikut :

1. Melakukan kajian pustaka yang berkaitan dengan:

a. Konsep dasar anak disleksia.

b. Kemampuan membaca anak disleksia.

c. Gambaran pelaksanaan remedial membaca permulaan bagi anak disleksia.

2. Menyimpulkan masalah pengajaran remedial membaca permulaan bagi anak disleksia.

BAB II

PENGAJARAN REMEDIAL MEMBACA PERMULAAN

BAGI ANAK DISLEKSIA

A. Konsep dasar Anak Disleksia dan Membaca Permulaan

1. Pengertian Anak Disleksia

Anak disleksia merupakan bagian dari anak berkesulitan belajar. Untuk menunjukkan bahwa anak disleksia adalah bagian dari anak berkesulitan belajar, dapat dilihat dari definisi anak berkesulitan belajar (learning diabilities), yaitu anak yang memiliki kesulitan belajar dalam proses psikologis dasar, sehingga menunjukkan hambatan dalam belajar berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berhitung, sedangkan mereka ini memiliki potensi kecerdasan yang baik tapi berprestasi rendah, yang bukan disebabkan oleh tunanetra, tunarungu, terbelakang mental, gangguan emosional, gangguan ekonomi, sosial atau budaya (Public Law 94-142, 1997; Delphie, B., 2006:27)

Jadi jelaslah dari definisi di atas disleksia merupakan bagian dari learning disabilities (berkesulitan belajar), karena disleksia menunjukkan adanya kesulitan dalam membaca yang bukan diakibatkan oleh kasus-kasus utama (seperti terbelakang mental, hendaya visual dan pendengaran, kelainan gerak serta gangguan emosional (Delphie, 2006:28)) dan bukan disebabkan oleh gangguan yang merugikan dari lingkungan dan budayanya.

Selanjutnya akan dijelaskan pengertian disleksia secara harfiyah, peristilahan dan dari beberapa ahli. Secara harfiyah disleksia (dyslexia) berarti tidak mampu membaca. Menurut Reid & Hresko (M.Sodiq A. 1996:3). Disleksia berarti suatu kesulitan pada membaca. Sedangkan Hornsby (M.Sodiq A, 1996:3) menyatakan bahwa kata disleksia berarti kesulitan pada kata-kata atau bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disleksia merupakan suatu kondisi atau bentuk kesulitan belajar membaca, kesulitan belajar membaca kata atau bahasa yang disebabkan oleh gangguan saraf pusat.

Secara terminologi, istilah disleksia dirujukan pada kesulitan belajar membaca tingkat berat sampai amat berat pada diri seseorang. Mengingat konsep disleksia seperti itu, maka terdapat berbagai pengertian disleksia yang satu sama lain kadang-kadang terkesan kontroversi. Hal ini dimungkinkan oleh berbagai alasan, diantaranya: (a) didasarkan pada orientasi dan titik pandang yang berbeda-beda, dan (b) bermuara pada luas sempitnya wawasan pengetahuan dan pengalaman pengusulnya.

Terdapat beberapa pengertian disleksia yang dikemukakan para ahli seperti berikut.

a. Disleksia merujuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan, pendengaran. Inteligensinya normal, dan ketrampilan usia


bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan tidak dapat diatributkan pada faktor kedua, misalnya Iingkungan atau sebab sebab sosial (Corsini,1987).

b. Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang berinteligensi normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai dan berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosional (Guszak,1985).

c. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen­-komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukan perkembangan bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta berkesulitan dalam mempelajari sistem representasional misalnya berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. ( Bryan & Bryan dikutif Mercer,1987).

d. Disleksia adalah bentuk kesulitan belaiar membaca dan menulis terutama belajar mengeja secara betul dan mengungkapkan pikiran secara tertulis dan ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya ( Hornsby dalam Sodiq, 1996:4)

Jadi pengertian disleksia adalah suatu tipe atau bentuk kelainan membaca yang disebabkan oleh faktor-faktor neurologis, genetika, dan psikologis dasar, tapi umumnya mereka ini cukup cerdas yang ditandai oleh skor IQ rata-rata/ normal atau di atas rata-rata. Untuk penanganannya membutuhkan keterlibatan para ahli selain guru yang bersangkutan, seperti ahli pendidikan khusus dan psikolog, Wikipedia (2007) menambahkan, anak disleksia memiliki kesulitan dalam mengasosiakan antara bentuk huruf dengan bunyinya dan mereka juga sering terbalik atau kebingungan terhadap huruf-huruf tertentu.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa anak disleksia adalah anak yang mengalami kesulitan belajar membaca yang disebabkan oleh faktor neurologis, genetika, dan psikologis dasar, serta sering menunjukkan kesulitan dalam mengasosiasikan antara bentuk huruf dan bunyinya dan mereka juga sering terbalik atau kebingungan terhadap huruf-huruf tertentu, tetapi mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata bahkan ada di atas rata-rata.

2. Karakteristik Anak Disleksia

Karakteristik anak disleksia amat bervariasi tergantung masalahnya. Sodiq (1996: 5) memberikan karakteristik anak disleksia sebagai berikut: (1) membaca lamban, turun naik intonasinya, dan kata demi kata; (2) sering membalikan huruf-huruf dan kata-kata; (3) mengubah huruf pada kata; (4) kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya misalnya: bau, buah, batu, buta; dan (5) sering menebak dan mengulangi kata-kata dan frasa .

Pada anak disleksia kesalahan-kesalahan membaca oral tersebut sering disertai oleh kelainan bicara, yaitu: (1) gangguan artikulasi, (2) gagap, dan (3) pembalikan konsep waktu dan ruang misalnya kacau terhadap konsep belakang dan muka,atas bawah, kemarin dan besok. Selain itu pada anak disleksia sering juga ditandai adanya bentuk kesalahan mengeja dan kesalahan tulis, misalnya jika didiktekan kata pagar maka ditulis papar.

Berkaitan dengan berbagai bentuk kesalahan dan problem yang dimiliki oleh anak disleksia tersebut, Gearheart (1984) menyatakan disleksia merupakan kesulitan membaca berat yang disertai oleh gangguan persepsi visual dan problem-problem dalam menulis misalnya perbalikan dan tulisan cermin (mirror writing).

Menurut Ekwall & Shanker 1988 (dalam M.Sodia, A, 1996:6) ada beberapa simtom berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia):

a. Pembalikan huruf dan kata,misalnya membalikan huruf b dengan d; p dengan a, u dengan n; kata kuda dengan daku palu dengan lupa; tali dengan ilat; satu dengan utas.

b. Pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak menentu (eratik)

c. Membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul

d. Membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral (secara lisan) yang pertama

e. Ketidak sanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai waktu diperlukan

e. Kesulitan dalam konsentrasi

i. Koordinasi motorik tangan-mata lemah

j. Kesulitan pada pengurutan

k. Ketaksanggupan bekerja secara tepat

l. Penghilangan tentang kata-kata dan prasa

m. Kekacauan berkaitan dengan membaca secara lisan (oral) misalnya tak mampu membedakan antara d dan p

n. Diskriminasi auditori lemah

o. Miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa), gagap, dan bicara terputus-putus

p. Prestasi belajar dalam berhitung tinggi dari pada dalam membaca dan mengeja

q. Hyperaktivitas.

Sementara itu Guszak ( dalam M.Sodik A, 1996: 6) mengemukakan ciri-­ciri anak disleksia sebagai berikut:

a. Membalikan huruf atau kata

b. Kesulitan/tak mampu mengingat kata

c. Kesulitan/tak mampu menyimpan informasi dalam memori d. Sulit berkonsentrasi.

e. Sulit dalam melihat keterhubungan (relationship),

f. Impulsif.

g. Sulit melakukan koordinasi tangan-mata,

h. Sulit dalam segi mengurutkan,

i. Membaca lambat,

j. Penanggalan kata, frasa dan sebagainya,

k. Kekacauan membaca secara oral,

l. Hyperaktif, dan

m. Kinerja matematika secara signifikan lebih tinggi dari pada kinerja membaca

3. Faktor Penyebab

Penyebab utama disleksia adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain:

a. Faktor genetik

b. Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen

c. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan syaraf pusat)

d. Biokimia yang merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan), pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam), gizi yang tidak memadai

e. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan)

Dari berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari tarap yang ringan hingga tarap berat.

4. Kemampuan Membaca Anak Disleksia

Kemampuan membaca erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa, sementara itu kemampuan berbahasa berhubungan dengan intelegensi/kecerdasan. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa anak disleksia ini memiliki kecerdasan rata-rata bahkan ada yang di atas rata-rata. Disisi lain Wiki (2007) berpendapat bahwa mereka itu cukup cerdas dan cukup lancar dalam bicara. Artinya mereka ini seharusnya tidak memiliki kesulitan ketika belajar membaca, tapi kenyataannya meskipun cerdas dan bicaranya cukup lancar mereka mengalami kesulitan belajar membaca. Tingkat kemampuan membaca, menulis ekspresif dan mengejanya berada di bawah rata-rata teman seusianya.

Pada saat membaca mereka menunjukkan adanya tanda-tanda kesulitan membaca sebagai berikut: (1) membaca lamban, turun naik intonasinya, dan kata-demi kata, (2) sering membalik huruf-huruf dan kata-kata, Contohnya b dengan d, p dengan q, u dengan n, kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat, papa dibaca dada (3) pengubahan huruf pada kata, misalnya baju menjadi baja, batu menjadi bata, (4) kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya, misalnya: bau, buah, batu, buta, (5) sering menebak dan mengulangi kata-kata dan frasa, (6) menghilangkan sebagian huruf (omission), (7) menambah huruf (addition), (8) terbalik huruf (reversal), (9) tidak menguasai penggunaan tanda baca, misalnya tanda titik (.), tanda koma (,), tanda tanya (?), tanda seru (!) dan (10) kesulitan dalam memahami isi bacaan (Reid dan Hresko 1981:232-233; Shodiq, 1996:5; Somad, P., 2002:40; Abdurrahman, 2003:205; Suherman, 2005:84).

5. Konsep Dasar Membaca Permulaan

Pengajaran membaca secara umum dapat dibagi kedalam dua tahapan, yaitu pengajaran membaca permulaan dan pengajaran membaca lanjut. Adapun pengertian membaca permulaan menurut Dalwadi (2002) adalah tahap awal dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal simbol-simbol atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf , sehingga menjadi pondasi agar anak dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut. Sedangkan tahap membaca lanjut adalah anak tidak sekedar mengenal simbol atau tanda-tanda tapi sudah mulai mempergunakannya untuk membaca kata atau kalimat sehingga anak memahami apa yang dibacanya (Amin, 1995 : 211).

Pada tahap membaca permulaan, anak membaca huruf atau kata tidak lagi terlalu tergantung pada lingkungan. Pada tahap ini anak masih perlu bantuan seperlunya selama membaca. Bantuan yang diberikan umumnya berupa konkretisasi kata yang dibaca, misalnya ketika anak membaca kata "buku" ditunjukkan wujud bukunya atau gambar buku ada di samping atau di bawah tulisan buku.

Tahap membaca permulaan ini umumnya ada pada saat tibanya masa peka, yaitu anak usia enam tahun atau tujuh tahun bagi anak normal atau usia sembilan tahun atau sepuluh tahun pada anak tunagrahita. Pada tahap membaca permulaan ini penguasaan jumlah kata anak masih terbatas dan penguasaan pada abjad belum sepenuhnya dikuasai. Jadi masih ada huruf yang sulit diucapkan dan sering dibaca salah, serta kemampuan membuat wacana tidak lebih dari tujuh baris, itupun ide pokoknya belum tampak dan belum bisa dianggap sebagai wacana yang baik. Tahap membaca permulaan merupakan saat kritis dan strategis dikembangkannya kemampuan membaca tanpa teks yaitu membaca dengan cara menceritakan gambar situasional yang tersedia. Pengembangan yang tepat pada tahap membaca permulaan ini perlu sekali, biasanya yang paling cocok dan sesuai alam anak yaitu membaca sambil bermain misalnya membaca menggunakan permainan kartu kata bergambar.

Pada tahap membaca ini kemandirian anak saat membaca mulai ada, tatapi anak beum bisa dilepas sepenuhnya saat membaca kata atau kalimat Untuk itu pada tahap ini masih perlu ada bantuan yang diberikan oleh guru atau orang tua kepada anak melalui berbagai" !atihan membaca terbimbing. Pada tahap ini biasanya anak sudah tidak lagi mengucapkan semua huruf abjad salah, sekalipun kadang-kadang sesekali membuat kesalahan membaca yang strukturnya agak kompleks, misalnya "strategis" (KKKVKVKV ), "status" (KKVKVK). Pada tahap ini anak, juga mulai ada kemauan membaca tanpa diperintah oleh orang lain. Namun kadang-kadang masih perlu diingatkan oleh orang lain baik guru atau orang tua untuk membaca buku. Pada tahap ini anak belun mampu memanfaatkan tanda konteks berupa tanda baca; anak belum bisa membedakan tanda koma dan titik saat membaca. Di samping itu anak mulai bisa mengambil inti dari wacana yang tersedia.

Menurut Shodiq (1996:126) pada tahap membaca permulaan anak lebih diarahkan kepada membaca huruf atau kata. Pada tahapan ini anak normal pada umumnya tidak lagi terlalu bergantung pada lingkungan, tetapi tidak demikian pada anak disleksia. Mereka masih sangat membutuhkan bantuan selama membaca

Jadi membaca permulaan adalah tahap awal anak belajar membaca dengan fokus pada pengenalan simbol-simbol huruf dan aspek-aspek yang mendukung pada kegiatan membaca lanjut. Oleh karena itu Pengajaran remedial pada tahap membaca permulaan memiliki peranan penting untuk mengatasi kesulitan-kesulitan membaca yang dihadapi oleh anak disleksia. Jika kesulitannya dapat ditangani pada tahap ini maka akan membantu anak untuk memasuki tahapan membaca lanjut.


B. Pengajaran Remedial Membaca Permulaan Bagi anak Disleksia

1. Pengertian Pengajaran Remedial

Istilah pengajaran remedial membaca menunjuk pada kegiatan remediasi membaca yang terjadi atau dilakukan di luar kelas reguler (Dechant & Smith, dalam M.Sodiq,1999). Pengajaran remedial membaca berisikan berbagai kegiatan remedial yang diperuntukkan bagi anak disleksia yang secara umum pelaksanaannya di luar pembelajaran kelas reguler dan biasanya dilaksanakan oleh guru remedial membaca atau guru khusus mengenai membaca.

Fokus pengajaran remedial membaca pada setiap anak secara individual, bukan pada kelompok anak atau pada kinerja level kelas. Ini berarti penilaian norma kelompok tak berlaku, karena kemajuan anak didasarkan semata-mata atas pengukuran individual bukan level kelas. Pengajaran remedial membaca harus empati, betul­-betul berfokus pada anak, kecepatan berjalan secara realistis, pengajaran berbasis atas basisl asesmen untuk memudahkan belajar dan pembelajaran anak. Metode, materi, teknik, dan bentuk pengelolaan kelas secara khusus amat diperlukan, yang didasarkan pada informasi khusus tentang anak atas hasill asesmen yang dilaksanakan secara seksama dan akurat.

Berbagai strategi pembelajaran dapat dilakukan untuk membantu mengembangkan kemampuan membaca anak disleksia, sebab disleksia merupakan kondisi hambatan belajar yang terus melekat, sehingga salah satunya membutuhkan pengajaran remedial yang tepat (Shodiq, 1996; Wiki, 2007)

Remedial membaca bagi anak disleksia adalah kegiatan perbaikan membaca (Dechant, 1982:249 dalam Shodiq, 1996:161), pelaksanaanya di luar pengajaran kelas reguler, sebaiknya dilaksanakan oleh guru remedial membaca atau guru khusus mengenai membaca (Shodiq, 1996:169).

Lebih lanjut, tujuan pengajaran secara remedial dalam membaca permulaan pada anak disleksia adalah memberikan kecakapan untuk memperkenalkan bentuk dan bunyi huruf serta mengubah rangkaian-rangkaian huruf menjadi rangkaian-rangkaian bunyi bermakna dan melancarkan teknik membaca pada anak. Jika dalam membaca permulaan dilakukan secara sistematis (dimulai dari asesmen, berdasarkan kemampuan dan kebutuhan anak, dimulai dari yang paling mudah) dan menggunakan metode secara tepat (efektif) akan memudahkan anak untuk mengikuti pengajaran membaca lanjut.

2. Pendekatan Pengajaran Remedial Membaca Permulaan

Pendekatan pengajaran membaca bagi anak disleksia telah banyak dikembangkan oleh para ahli, terutama di negara-negara yang telah menaruh perhatiannya terhadap pendidikan anak disleksia. Pendekatan yang dimaksud yaitu pendekatan multisensori, diantaranya (1) Pendekatan taktil-kinestetik, (2) pendekatan visual-auditif­kinestetik taktil, dan sebagainya.

a. Pendekatan Taktil-Kinestetik

Metode taktil-kinestetik dianggap cocok untuk diterapkan dalam pengajaran membaca anak disleksia. Metode kinestetik dikembangkan oleh Grace Fernald dan Hellen B. Keller. Metode ini lebih dikenal dengan metode telusur dan kinestetik. Tujuan pokok metode ini adalah untuk melatih pengamatan anak agar terarah, akurat, clan sistematis selama melaksanakan kegiatan membaca. Dalam pelaksanaan pembelajaran membaca anak disleksia dengan menggunakan metode ini, bila anak disleksia mengalami kesulitan dalam membaca suatu kata atau suku kata bahkan huruf, makna huruf, suku kata, atau kata yang sulit dibaca oleh anak tersebut harus ditelusuri bentuk, konfigurasi dan urutannya dengan menggunakan jari tangan atau alat tulis tertentu. Dengan cara demikian, ingatan anak disleksia atas kata; suku kata, atau huruf tersebut dapat terbantu oleh respon visual dan kinestetik.

Menurut Kirk, Kliebhan, & Lerner (dalam M.Sodiq,1999: 165) ada empat langkah penerapan metode ini yaitu

(1) Guru menuliskan kata yang dipilih dengan kapur berwarna pada papan tulis. Tulisan tersebut dibuat cukup besar agar mudah dikenali oleh anak dan ditelusuri dengan menggunakan jari atau pensil. Selama anak menelusuri dan menunjuk kata yang tertulis, anak mengucapkan setiap bagiannya (suku katanya). Hal ini dilakukan berulang kali sehingga anak dapat menuliskan kata tersebut tanpa melihat rupa kata dan dapat mengucapkannya.

(2) Anak mempelajari kata atau huruf dengan cara mengucapkannya sendiri, serta bebas menulis dan membaca kata yang telah ditulis. Tahap ini ditempuh bila anak disleksia tidak perlu lagi menunjuk atau menelusuri kata-kata baru yang dipelajarinya.

(3) Anak mempelajari kata dengan cara mengucapkannya, sebelum menuliskannya. Dalam hal ini anak dapat belajar tanpa meminta guru untuk menuliskan kata, dan anak disleksia diperbolehkan memandang sekilas kata yang terdiri atas empat sampai lima suku kata sambil mengucapkan dan menuliskannya secara hapalan.

(4) Anak dapat mengenal kata-kata baru dengan memperhatikan kesamaannya dengan kata-kata yang telah dipelajarinya. Setelah anak mempelajari kata yang tertulis, anak mulai menggeneralisasikan dan mengenalnya kata baru berdasar kemiripan kata-kata yang telah dipelajari.

Sedangkan Ekwall & Shanker (M.Sodiq,1999:165) mengemukakan empat tahapan penerapan pendekatan taktil-kinestetik dalam pengajaran membaca anak disleksia sebagai berikut

(1) Penelusuran (tracing).

Pada tahap ini pertama-tarna kata yang dipelajari ditulis oleh anak di papan tulis atau pada selembar kertas berukuran 3 x 9 atau 4 x 10 inci. Kata-kata tersebut dapat ditulis dalam huruf kursif (huruf cetak miring ke kanan) atau cetak biasa sesuai dengan kebiasaan yang ada di kelas. Kata yang tertulis di papan tulis tersebut kemudian dibaca anak dengan menggunakan jari telunjuk atau jari tengahnya sambil mengucapkan tiap bagian katanya, namun bukan bunyi kata setiap huruf. Tahap ini dilakukan sampai anak mampu merekam kata dalam ingatannya, kemudian menuliskan kata tersebut tanpa melihat teks aslinya sesuai bentuk tulisan yang ada. Selanjutnya anak mengucapkannya dan menyalinnya untuk dipelajari di rumah, yang disusun berdasarkan urutan abjad. Pendeknya tahap ini penekanannya yaitu (1) satu jari atau beberapa jari mengadakan kontak dengan kertas, menulis di udara dianggap kurang bermanfaat; (2) murid tidak menyalin suatu kata, namun menulis kata berdasar ingatannya, (3) kata dipelajari sebagai satu kesatuan, (4) tiap bagian kata diucapkannya keras-keras sebagaimana yang tertulis, (5) anak menulis apa yang ditulis guru dan membacanya dalam selang waktu yang pendek setelah selesai ditulis, (6) jika anak tak dapat mengenal suatu kata, pertemuan dihentikan dan praktek penelusuran diulangi seperti semula.

(2) Menulis tanpa penelusuran (writing without tracing)

Pada tahap ini anak tidak lagi menelusuri kata yang dipelajari hanya merekam dalam memorinya dan mengucapkannya beberapa kali, kerriudian atas dasar memorinya menuliskannya. Pada tahap ini lebih baik jika guru menggunakan kartu-kartu kata seperti kartu katalog perpustakaan. Kata yang dipelajari tersebut diketik pada satu sisi kartu dan ditulis tangan pada sisi yang lain, yang diisi menurut urutan abjad.

(3) Pengenalan kata tercetak (recognition in print)

Pada tahap ini anak tak perlu menulis setiap kata yang tercetak. Murid melihat kata pada teks dan menjelaskan maksud dari kata yang dilihatnya tersebut. Kata diucapkan sekali atau dua kali, kemudian ditulis atas dasar ingatannya.

(4) Analkis kata (word analysis)

Pada tahap ini murid didorong untuk melihat kata-kata baru dan mencoba mengidentifikasikannya atas kesamaan bagian kata yang ada dan menerapkannya pada kata-kata baru. Penganalisisan bunyi setiap huruf sebaiknya dihindari, namun anak didorong untuk mengembangkan kebiasaan mencari kesamaan bagian dari kata.

b. Pendekatan Visual-Auditif-Kinestetik-Taktil

Metode ini dikenal juga sebagai pendekatan pembelajaran membaca yang disebut pendekatan sistern fonik-visual-auditori-kinestetik. Metode ini dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman (Gearheart, dalam M.Sodiq,1999: 166). Asumsi yang mendasari metode ini adalah hahwa dalam pengajaran membaca, menulis, dan mengeja kata dipandang sebagai satu rangkaian huruf-huruf. Metode ini berangkat dari metode abjad, yaitu bunyi yang disimbolkan oleh huruf dipandang mudah dipelajari dengan menggunakan keterpaduan indra visual, auditori, kinestetik, dan taktil Dengan demikian saat anak mempelajari suatu kata anak melihat huruf tersebut, mendengar bunyi huruf menunjuk dengan gerakan tangan atau telusuran jari tangan dan kemudian menuliskannya dengan menggunakan visual, auditori dan kinestetil: secara terpadu. Pendekatan ini bermanfaat sekafi bagi anak yang tidak maniru mempelajari kata melalui pendekatan rupa kata atau yang sering disebut dengan metode kata lembaga.

Secara umum metode VAKT ini ada kesamaannya dengan metode sintesis pada pengajaran membaca permulaan. Dalarn metode sintesis, pengajaran membaca permulaan dimulai mengajarkan bunyi setiap huruf, suku kata, kemudian kata,lalu frase dan dilanjutkan pada kalimat. Pada metode VAKT siswa mempelajari kata dengan melihat huruf tersebut, mendengar bunyi huruf, menunjuk dengan tangan, atau menelusuri dengan jari tangan kemudian menuliskan kata dengan masukan indera visual, auditif, kinestetik, dan taktil secara padu.

Kirk, Kliebhanf. & Lerner (dafam M. Sodiq, 1999: 167) mengetengahkan tiga tahap penerapkan metode ini dalam pengajaran membaca anak disleksia yaitu

( I) Asosiasi pertama terdiri dari dua gabungan yaitu asosiasi simbol visual dengan nama-nama huruf dan asosiasi simbol visual dengan bunyi huruf; juga asosiasi rasa organ bicara dalam memproduksi nama atau bunyi huruf apa yang anak dengar sama dengan yang anak ucapkan. Hal tersebut adalah asosiasi visual-auditif dan auditif-kinestetik. Dafam pelaksanaan pengajaran membaca pada anak disleksia haf ini dilakukan dengan cara : (1) guru membagikan kartu huruf dan mengucapkannya, anak mengulangi atau menirukan apa yang diucapkan oleh guru, dan (2) setelah nama huruf dikuasai oleh anak, guru mengucapkan bunyi huruf dan anak mengikutinya. Selanjutnya guru menanyakan kepada anak, "Apa bunyi huruf ini?" anak lalu menyebutkan bunyinya.

(2) Guru mengucapkan/melafalkan bunyi huruf, bagian kartu yang bertuliskan huruf tak diperlihatkan kepada anak (menghadap ke guru). Kemudian guru memperlihatkannya dan menanyakan kepada anak tentang nama huruf tersebut, kemudian anak menjawabnya.

(3) Guru menuliskan huruf yang dipelajari, menerangkan dan menjelaskannya. Anak memahami bunyi, bentuk dan cara membuat huruf dengan cara menelusuri huruf yang dibuat oleh guru, kemudian menyalin/menulis huruf berdasarkan memorinya. Akhirnya anak menulis huruf sekali lagi dengan mata tertutup atau tidak mencontoh. Setelah dikuasai betul oleh anak, guru melanjutkan dengan huruf lain. Dalam pendekatan VAKT ini bila siswa telah menguasai beberapa huruf, kemudian anak merangkaikan menjadi sebuah kata dengan pola KVK (Konsonan, Vokal, Konsonan), misalnya pal, sas, bas, dan top.

3. Keunggulan dan Kelemahan Pengajaran Remedial

a. Keunggulan

Memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan membaca yang dialami oleh anak disleksia, fokus diarahkan kepada setiap anak secara individual, melibatkan keterlibatan anak secara langsung dan penuh dengan peragaan. Metode ini juga merangsang semua modalitas yang dimiliki oleh anak (visual, auditori, kinestetik, dan taktil). Seharusnya pembelajaran diawali dengan penyusunan program yang berdasarkan atas hasil asesmen, metode, materi, teknik dan bentuk pengelolaan kelas disiapkan secara khusus untuk setiap individu (Shodiq, 1996:169; Abdurrahman, 2003).

b. Kelemahan

Pengajaran remedial membaca ini memiliki kelemahan, yaitu butuh waktu lebih lama (Shodiq, 1996:161).

4. Prosedur Pengajaran Remedial

a. Asesmen

Asesmen dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan asesmen formal dan asesmen informal. Asesmen formal adalah asesmen dengan menggunakan tes baku yang sudah disusun sedemikian rupa oleh para ahli sehingga memiliki standar tertentu, sedangkan tes informal adalah penilaian dengan menganalisis hasil pekerjaan siswa atau dengan tes buatan guru (McLoughlin dan Lewis, 1986; Mercer dan Mercer, 1989; Alimin, Z., 1996 dalam Imandala, I., 2000: 23).

Dalam makalah ini menggunakan asesmen informal (lihat di bawah ini) karena melalui asesmen informal guru dapat menyusunnya sesuai kurikulum dan guru akan lebih memahami anak (Wardani, et al., 2007:27). Asesmen informal yang hendak digunakan dapat dilihat pada halaman di bawah ini:

(1) Tes Buatan Guru

Membedakan bentuk huruf: Lingkari huruf yang disebutkan

Huruf

B/S

Huruf

B/S

(1) b d p

(2) a e r s

(3) m w h k

(4) l j t p y

(5) z o f v u n

(6) c s r z i e

(7) R G C D

(8) O D Q P

(9) S Z B H K

(10) Y U Y L F

(11) X N M W Z S

(12) A R K T B F

Sumber: Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001:98)

(2) Format Observasi

Observasi

Deskripsi

  1. Posisi duduk
  2. Posisi kepala
  3. Konsentrasi
  4. Gerakan tangan
  5. Kesalahan membaca
  6. Posisi buku
  7. Intonasi
  8. Ekspresi
  9. Nada suara (tegang/tidak)

Sumber: Abdurrahman (2003)

(3) Format Pencatatan Bentuk-Bentuk Kesulitan

Nama: .............

TTL : .............

Kelas : ..................

No

Bentuk Kesulitan

Ya

Tidak

Deskripsi

1

2.

Terbalik huruf

dst.

Sumber: Abdurrahman (2003)

b. Perencanaan

Di dalam perencanaan guru menyusun langkah-langkah pengajaran secara sistematis. Yang disusun dalam perencanaan adalah tujuan, materi, alat/bahan, metode, evaluasi, dan jadwal (Shodiq, 1996).

Contoh format perencanaan:

Hasil asesmen: Ketika membaca anak sering terbalik pada huruf b, d, p, q, m,

n, r, dan t

Tujuan

Materi

Alat/bahan

Metode

Evaluasi

Tujuan Umum: anak mampu memahami bentuk-bentuk huruf

Tujuan khusus: anak mampu membedakan huruf b, d, p, q, m, n, r, dan t, pada posisi tunggal, diawal kata, di tengah kata, dan di akhir kata.

- Memperkenalkan bentuk-bentuk huruf b, d, p, q, m, n, r, dan t, satu persatu hingga anak paham

- Mengucapkan bunyi huruf-huruf tersebut.

- Membedakan

- Kartu huruf dengan warna yang mencolok

- Bentuk huruf tiga dimensi

- Kartu huruf yang bertekstur

Metode Fernald*

Tes perbuatan (membaca) dan tertulis

*Dipilih metode Fernald karena dalam metode ini melibatkan keterlibatan anak secara langsung dan penuh dengan peragaan. Metode ini juga merangsang semua modalitas yang dimiliki oleh anak (visual, auditori, kinestetik, dan taktil).

Jadwal

No

Siswa

Kelas

Hari

Waktu

Keterangan

1

A

2

Senin

11.00 -12.00

2

B

2

Selasa

11.00 -12.00

3

C

3

Rabu

12.15 -13.15

4

D

3

Kamis

12.15 -13.15

5

E

3

Jum’at

12.15 -13.15

c. Pelaksanaan

Sebagai bahan pertimbangan, di bawah ini disajikan teori-teori metode membaca dari (1) Fernald, (2) Gillingham, dan (3) Analisis Glass. Sehingga dalam pelaksanaan metode Fernald tidak rancu atau tercampur dengan metode lain.

(1) Metode Fernald

Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multi sensori yang sering dikenal pula sebagai metode VAKT (Visual Auditori Kinestetik Taktil), metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak dan tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki empat tahapan, tahapan pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (taktil kinestetik), pada saat ini menulusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditori). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan, pada tahapan kedua anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis, sambil mengucapkannya. Anak-anak mempelajari kata-kata baru pada tahapan ketiga, dengan melihat tulisan di papan tulis atau tulisan cetak, dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak dimulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan keempat, anak mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.

(2) Metode Gillingham

Metode gillingham, merupakan pendekatan terstruktur dari taraf tinggi yang memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktifitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk mempelajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program fonik diselesaikan.

(3) Metode Analisis Glass

Metode analisis Glass merupakan suatu metode pengajaran melalui pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Metode ini bertolak dari asumsi yang mendasari membaca sebagai pemecahan sandi atau kode tulisan. Ada dua asumsi yang mendasari metode ini. Petama proses pemecahan sandi (decoding) dan membaca (reading) merupakan kegiatan yang berbeda. Kedua, pemecahan sandi mendahului membaca. Pemecahan sandi didefinisikan sebagai menentukan bunyi yang berhubungan dengan suatu kata tertulis secara tepat. Membaca didefinisikan sebagai menurunkan makna dari kata-kata yang berbentuk tulisan. Jika anak tidak melakukan pemecahan sandi tulisan secara efisien, maka mereka tidak akan belajar membaca. Melalui metode analisis Glass, anak dibimbing untuk mengenal kelompok-kelompok huruf sambil melihat kata secara keseluruhan. Meode ini menekankan pada latihan auditoris dan visual yang terpusat pada kata yangt sedang dipelajari. Materi yang diperlukan untuk mengajar mengenal kelompok-kelompok huruf dapat dibuat oleh guru. Secara esesnsial, kelompok huruf dapat dibuat pada kartu berukuran 3 x 15 cm. Pada tiap kartu tersebut guru menuliskan secara baik kata-kata yang terpilih yang telah menjadi pembendaharaan kata anak. Kelompok kata didefinisikan sebagai dua atau lebih huruf yang merupakan satu kata utuh, menggambarkan suatui bunyi yang relatif tetap. Dalam Bahasa Indonesia kelompok huruf yang merupakan satu kata yang hanya terdiri dari suku kata sangat jarang. Kata “tak” misalnya sesungguhnya merupakan kependekan dari kata tidak, dan kata “pak” atau ‘bu” sesungguhnya kependekan dari kata “bapak” dan “ibu”. Dengan demikian, penerapan metode analisis Glass dalam Bahasa Indonesia akan bebentuk suku kata, misalnya kata “bapak” terdiri dari dua kelompok huruf “ba” dan “pak”.

d. Evaluasi

Bentuk evaluasi yang diterapkan dalam mata pelajaran membaca permulaan pada metode Fernald adalah unjuk kerja diikuti dengan tertulis (menyangkut pengikutsertaan aspek akademik (membaca, menulis, pengetahuan dan pemahaman), contohnya sebagai berikut :

  1. Tunjukkan huruf b yang ada pada halaman ini!
  2. Tunjukkan huruf d yang ada pada halaman ini!
  3. Tunjukkan huruf p yang ada pada halaman ini!
  4. Tunjukkan huruf q yang ada pada halaman ini!
  5. Tuliskanlah huruf b dengan benar!
  6. Tuliskanlah huruf b dengan benar!
  7. Tuliskanlah huruf d dengan benar!
  8. Tuliskanlah huruf p dengan benar!
  9. Tuliskanlah huruf q dengan benar!
  10. Tuliskanlah huruf e dengan benar!

4. Penerapan Remedial Membaca Permulaan Bagi Anak Disleksia

Berikut ini contoh penerapan remedial membaca permulaan bagi anak disleksia:

  1. Identitas

Nama anak : Yoga

Jenis kelamin : Laki-laki

TTL : Bandung, 20 Juni 1998

Alamat : Warung Lobak No 5 RT 02 RW 05

Desa Sekawangi Kec. Katapang Kab. Bandung

Sekolah : SLB B-C Roudhotul Jannah

Kelas : III/SDLB-C

Nama Ayah : Sukardi

Nama Ibu : Amirah

b. Contoh Asesmen dan Hasil Asesmen

Mengenal Huruf

Nama : ...

Jenis Kelamin : ...

TTL : ..

Kelas : ...

a b c d e f

g h i j k l

m n o p q r

s t u v x y

z

Sumber: Suwarni, T. (1999:18)

Membedakan Bentuk Huruf

(Lingkari huruf yang disebutkan)

Nama : ...

Jenis Kelamin : ...

TTL : ..

Kelas : ...

Huruf

B/S

Huruf

B/S

(1) b d p

(2) a e r s

(3) m w h k

(4) l j t p y

(5) z o f v u n

(6) c s r z i e

(7) R G C D

(8) O D Q P

(9) S Z B H K

(10) Y U Y L F

(11) X N M W Z S

(12) A R K T B F

Sumber: Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001:98)

Membaca Kata

(Bacalah kata-kata di bawah ini!)

Nama : ...

Jenis Kelamin : ...

TTL : ..

Kelas : ...




1. buku duku kuku

2. mama mana nana

3. bulu bola labu

4. hati nasi hari

5. kuda lupa palu

6. peta gula pita

7. sewa vena vita

8. cuci guci gali

9. lusa lusi nita

10. tani rasi rusa

Sumber: Suwarni, T., (1999:17)

Observasi

Observasi

Deskripsi

  1. Posisi duduk
  2. Posisi kepala
  3. Konsentrasi
  4. Gerakan tangan
  5. Kesalahan membaca
  6. Posisi buku
  7. Intonasi
  8. Ekspresi
  9. Nada suara (tegang/tidak)

Sumber: Abdurrahman (2003 : 209) Shodiq (1996)

Contoh Pencatatan Hasil Asemen

Nama: .............

TTL : .............

Kelas : ..................

No

Bentuk Kesulitan

Deskripsi

1

2.

3.

Mengenal huruf

Terbalik huruf

Membalik huruf pada kata

Anak sudah mampu mengenal dan menyebutkan huruf dari a s.d. z, tapi masih terbalik pada huruf b dengan d, m dengan n, p dengan q.

Anak masih sering terbalik huruf b dengan d, m dengan n, p dengan q.

Anak sudah mampu membaca kata, namun masih sering terjadi membalik kata, misalnya kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat

  1. Perencanaan Program

Contoh Perencanaan Program

Nama: .............

TTL : .............

Kelas : ..................

Hasil asesmen:

- Ketika membaca anak sering terbalik pada huruf b, d, p, q

- Anak sudah mampu membaca kata tapi masih sering terjadi membalik kata, misalnya kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat.

- Dua kondisi di atas diakibatkan adanya masalah pada persepsi visual anak sehingga perlu adanya materi latihan persepsi visual.

Selanjutnya ditetapkan tujuan penanganan untuk mengatasi kesulitan membaca yang dialami oleh anak dengan harapan dapat menghasilkan perilaku belajar sesuai kategori perilaku Bloom, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor (dalam Dimyati dan Mudjiono, 1994:23).

Setelah menetapkan tujuan selanjutnya ditentukan materi, alat/bahan, metode, dan evaluasi. Contohnya sebagai berikut:

Tujuan

Materi

Alat/bahan

Metode

Evaluasi

Tujuan Umum: anak mampu memahami bentuk-bentuk huruf

Tujuan khusus:

- Anak mampu mengenal dan memahami huruf b, d, p, q (kognitif)

- Anak mampu membedakan huruf b, d, p, q, pada posisi tunggal, diawal kata, di tengah kata, dan di akhir kata (psikomotor).

- Anak mampu peka terhadap kesalahan/bentuk-bentuk kesulitan membacanya (afektif).

- Memperkenalkan bentuk-bentuk huruf b, d, p, q, satu persatu hingga anak paham

- Mengucapkan bunyi huruf-huruf tersebut.

- Latihan persepsi visual

- Kartu huruf dengan warna yang mencolok

- Bentuk huruf tiga dimensi

- Kartu huruf yang bertekstur

Metode Fernald*

Tes perbuatan (membaca) dan tertulis

d. Pelaksanaan

Contoh Pelaksanaan

Menggunakan metode Fernald, langkah-langkanya sebagai berikut:

(1) Guru mencatat bentuk huruf-huruf yang sulit dikuasai/dibedakan oleh anak (b, d, p, dan, q)

(2) Guru mencatat kata-kata yang sering terbalik (kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat)

(3) Guru menulis huruf/kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (taktil kinestetik), pada saat ini menulusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditori). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat menulis huruf/kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan.

(4) Selanjutnya anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis, sambil mengucapkannya.

(5) Anak-anak mempelajari kata-kata baru, dengan melihat tulisan di papan tulis atau tulisan cetak, dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak dimulai membaca tulisan dari buku.

(6) Pada tahapan ini, anak diharapkan mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.

  1. Evaluasi

Contoh Evaluasi

1. Tunjukkan huruf b yang ada pada halaman ini!

2. Tunjukkan huruf d yang ada pada halaman ini!

3. Tunjukkan huruf p yang ada pada halaman ini!

4. Tunjukkan huruf q yang ada pada halaman ini!

5. Tuliskanlah huruf b dengan benar!

6. Tuliskanlah huruf b dengan benar!

7. Tuliskanlah huruf d dengan benar!

8. Tuliskanlah huruf p dengan benar!

9. Tuliskanlah huruf q dengan benar!

10. Tuliskanlah huruf e dengan benar!

Bacalah kata-kata di bawah ini!

1. buku duku kuku

2. mama mana nana

3. bulu bola labu

4. hati nasi hari

5. kuda lupa palu

6. peta gula pita

7. sewa vena vita

8. cuci guci gali

9. lusa lusi nita

10. tani rasi rusa


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Disleksia merupakan kondisi kesulitan belajar membaca taraf berat yang disebabkan oleh faktor neurologis, kematangan, genetika , dan psikologis dasar yang ditandai oleh IQ rata-rata atau diatas rata-rata dan kadang-kadang menyertai atau bersama-sama dengan jenis kelainan lain.

2. Pengajaran membaca terdiri dari tahapan membaca permulaan, dan membaca lanjut. Adapun pengertian membaca permulaan adalah tahap awal dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal simbol-simbol atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf , sehingga menjadi pondasi agar anak dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut.

3. Bentuk-bentuk kesulitan membaca permulaan anak disleksia sebagai berikut: (1) membaca lamban, turun naik intonasi, dan kata demi kata; (2) sering membalikkan huruf-huruf dan kata-kata; (3) mengubah huruf pada kata; (4) kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya misalnya: bau, buah, batu, buta; dan (5) sering menebak dan mengulangi kata-kata frasa

4. Pengajaran remedial membaca menunjuk pada suatu bentuk perlakuan khusus pembelajaran membaca untuk memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan membaca yang dialami oleh anak disleksia dengan cara melibatkan seluruh aspek kognitif (mengenal dan memahami bentuk-bentuk huruf dan kata), afektif (peka terhadap kesalahan dan bentuk kesulitan membacanya, dan psikomotor (mampu menyebutkan, menunjukkan, membedakan, dan menuliskan huruf atau kata dengan benar).

5. Remedial membaca permulaan bagi anak disleksia terdiri dari beberapa langkah, yaitu asesmen (formal atau informal), perencanaan, pelaksanaan (menggunakan pendekatan multisensori), dan evaluasi (tes tulis dan unjuk kerja).

B. Saran

1. Dalam menangani kasus pembelajaran anak disleksia diperlukan kerja sama dengan ahli lain, seperti ahli pendidikan khusus, dokter (medis) dan psikolog.

2. Hasil pemikiran ini dapat dikaji lebih mendalam lagi, khususnya tentang penggunaan metode Fernald dalam membaca permulaan.

3. Diharapakan disediakan ruangan khusus sebagai pusat penanganan kesulitan belajar. Ruang tersebut dapat dipergunakan oleh guru kelas dan guru khusus untuk mengkaji dan menangani berbagai gangguan belajar yang terjadi pada anak didiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (cet. kedua). Jakarta: Depdikbud dan PT Rineka Cipta.

Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud PPTG.

Dalwadi. (2002). Pengaruh Penerapan Metode Suku Kata Dalam Pengajaran Membaca Permulaan Bagi Anak Tunagrahita Ringan. Skripsi S1 Pada Jurusan PLB FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus: Dalam Setting Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama.

Dimyati dan Mudjiono. (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud

Imandala, I. (2000). Program Pembelajaran Berhitung Faktual Bagi Siswa Berkesulitan Belajar Di Kelas III Sekolah Dasar. Skripsi S1 Pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Lerner-Janet, W. (1989). Learning Disablities: Theories, Diagnosis and Teaching Strategis (Fifth ed.). Boston USA: Houghton Mifflin Company.

McLoughlin-James, A. and Lewis-Rena, B. (1986). Assessing Special Students (second ed.). Ohio USA: Merril Publishing Company A Bell & Howell Company.

Mercer-Cecil, D. and Mercer-Ann, R. (1989). Teaching Students With Learning Problems (third ed.). Ohio USA: Merril Publishing Company A Bell & Howell Company.

Shodiq, M. (1996). Pendidikan Bagi Anak Disleksia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud PPTA.

Somad, P. (2002). “Bimbingan Membaca Bagi Siswa Berkesulitan Membaca”. Jurnal Jassi Anakku. 1. (1), 38-51.

Sub Dinas Pendidikan Luar Biasa. (2007). Direktori Sub Dinas Pendidikan Luar Biasa. Bandung: Subdin PLB Jabar.

Suherman, Y. (2005). Adaptasi Pembelajaran Siswa Berkesulitan Belajar. Bandung: Rizqi Press.

Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001). Identifikasi Karakteristik Perilaku Belajar Akademik Siswa Learning Disablities. Laporan Penelitian Dirjen Dikti Depdikbud Jakarta: tidak diterbitkan.

Suwarni, T. (1999). Program Pengembangan Kemampuan Berbahasa Melalui Pembelajaran Membaca Permulaan Bagi Anak Tunagrahita Ringan. Makalah S1 pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

Wardani, I.G.A.K., Hernawati, T., Astati. (2007). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.

Wiki. (2007). Learning Disability [Online]. Tersedia: http//en.wikipedia.org/wiki. [20 Oktober 2007].

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates